Salah satu tanda bergantung pada amal adalah
berkurangnya harapan tatkala gagal.
Keinginanmu untuk lepas dari urusan duniawi,
padahal Allah membekalimu dengan sarana penghidupan,
adalah syahwat yang samar.
Sedangkan keinginanmu untuk mendapatkan sarana penghidupan,
padahal Allah telah melepaskanmu dari urusan duniawi,
adalah suatu kemunduran dari cita-cita yang luhur.
Menggebunya semangat tak akan mampu menerobos benteng takdir.
Istirahatkan dirimu dari mengatur urusanmu,
karena segala yang telah diurus oleh “Selainmu”,
tak perlu engkau turut mengurusnya.
Kesungguhanmu mengejar apa yang sudah dijamin untukmu
dan kelalaianmu melaksanakan apa yang dituntut darimu,
adalah bukti dari rabunnya mata batinmu.
Tertundanya pemberian setelah engkau mengulang-ulang permintaan,
janganlah membuatmu berpatah harapan.
Allah menjamin pengabulan sesuai dengan apa yang Dia pilih buatmu,
bukan menurut apa yang engkau pilih sendiri,
dan pada saat yang Dia kehendaki,
bukan pada waktu yang engkau ingini.
Tak terjadinya sesuatu yang dijanjikan, padahal waktunya telah tiba,
janganlah sampai membuatmu ragu terhadap janji Allah itu. Supaya,
yang demikian tidak mengaburkan pandangan mata batinmu
dan memadamkan cahaya relung hatimu.
Jika Allah membukakan pintu makrifat bagimu,
jangan hiraukan mengapa itu terjadi sementara amalmu amat sedikit.
Allah membukakannya bagimu hanyalah karena
Dia ingin memperkenalkan Diri kepadamu.
Tidakkah engkau mengerti;
bahwa makrifat itu adalah anugerah-Nya kepadamu,
sedangkan amal adalah pemberianmu?
Maka betapa besar perbedaan
antara persembahanmu kepada Allah
dan karunia-Nya kepadamu!
Amal itu kerangka yang mati,
dan ruhnya ialah keikhlasan yang ada padanya.
Amal itu beragam
lantaran beragamnya keadaan yang menimpa hati.
Pendamlah wujudmu dalam “tanah” tak dikenal,
karena sesuatu yang tumbuh
dari benih yang tak ditanam (terlebih dahulu),
buahnya tiada sempurna.
Bagaimana hati dapat bersinar
sementara gambar dunia terlukis dalam cerminnya?
Atau, bagaimana hati bisa berangkat menuju Allah
kalau ia masih terbelenggu dengan syahwatnya?
Atau, bagaimana hati akan antusias menghadap ke hadirat Allah
bila ia belum suci dari “janabah” kelalaiannya?
Atau, bagaimana hati mampu memahami kedalaman misteri gaib
padahal ia belum bertobat dari kesalahannya?
Tiada yang berguna bagi kalbu
sebagaimana uzlah untuk memasuki medan perenungan.
……
Ibnu ‘Atthailah as-Sakandari
Kitab Al-Hikam: Rampai Hikmah Ibnu ‘Atthailah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar